Tank's Atas Kunjungan sahabat,,,

Minggu, 11 Desember 2011

DEMOKRASI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

  Oleh : BRIGITA WIN ERWINA
PENDAHULUAN

Konsep kepemimpinan dalam Islam sebenarnya memiliki dasar-dasar yang

sangat kuat dan kokoh. Ia dibangun tidak saja oleh nilai-nilai transendental, namun

telah dipraktekkan sejak berabad-abad yang lalu oleh nabi Muhammad SAW, para

Shahabat dan Al-Khulafa' Al-Rosyidin. Pijakan kuat yang bersumber dari Al-qur'an

dan Assunnah serta dengan bukti empiriknya telah menempatkan konsep

kepemimpinan Islam sebagai salah satu model kepemimpinan yang diakui dan

dikagumi oleh dunia internasional.

Namun dalam perkembangannya, aplikasi kepemimpinan Islam saat ini

terlihat semakin jauh dari harapan masyarakat. Para tokohnya terlihat dengan

mudah kehilangan kendali atas terjadinya siklus konflik yang terus terjadi. Harapan

masyarakat (baca: umat) akan munculnya seorang tokoh muslim yang mampu dan

bisa diterima oleh semua lapisan dalam mewujudkan Negara yang terhormat, kuat

dan sejahtera nampaknya masih harus melalui jalan yang panjang.

Tinjauan Umum Mengenai Kepemimpinan

Secara etimologi kepemimpinan berarti Khilafah, Imamah, Imaroh, yang

mempunyai makna daya memimpin atau kualitas seorang pemimpin atau tindakan

dalam memimpin. sedangkan secara terminologinya adalah suatu kemampuan

untuk mengajak orang lain agar mencapai tujuan-tujuan tertentu yang telah

ditetapkan. Dengan kata lain, kepemimpinan adalah upaya untuk

mentransformasikan semua potensi yang terpendam menjadi kenyataan. Tugas

dan tanggungjawab seorang pemimpin adalah menggerakkan dan mengarahkan,

menuntun, memberi mutivasi serta mendorong orang yang dipimpin untuk berbuat

sesuatu guna mencapai tujuan. Sedangkan tugas dan tanggungjawab yang

dipimpin adalah mengambil peran aktif dalam mensukseskan pekerjaan yang

dibebankannya. tanpa adanya kesatuan komando yang didasarkan atas satu

perencanaan dan kebijakan yang jelas, maka rasanya sulit diharapkan tujuan yang

telah ditetapkan akan tercapai dengan baik. Bahkan sebaliknya, yang terjadi

adalah kekacauan dalam pekerjaan. Inilah arti penting komitmen dan kesadaran

bersama untuk mentaati pemimpin dan peraturan yang telah ditetapkan.

III. Kepemimpinan dalam Islam

III. a. Hakekat Kepemimpinan

Dalam pandangan Islam, kepemimpinan merupakan amanah dan

tanggungjawab yang tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada anggotaanggota

yang dipimpinya, tetapi juga akan dipertanggungjawabkan dihadapan

Allah Swt. Jadi, pertanggungjawaban kepemimpinan dalam Islam tidak hanya

bersifat horizontal-formal sesama manusia, tetapi bersifat vertical-moral, yakni

tanggungjawab kepada Allah Swt di akhirat nanti. Seorang pemimpin akan

dianggap lolos dari tanggungjawab formal dihadapan orang-orang yang

dipimpinnya, tetapi belum tentu lolos ketika ia bertanggungjawab dihadapan Allah

Swt. Kepemimpinan sebenarnya bukan sesuatu yang mesti menyenangkan, tetapi

merupakan tanggungjawab sekaligus amanah yang amat berat yang harus

diemban dengan sebaik-baiknya. Allah Swt berfirman:

"dan orang-orang yang memelihara amanah (yang diembankannya) dan janji

mereka, dan orang-orang yang memelihara sholatnya, mereka itulah yang akan

mewarisi surga firdaus, mereka akan kekal didalamnya" (QS.Al Mukminun 8-9)

Seorang pemimpin harus bersifat amanah, sebab ia akan diserahi

tanggungjawab. Jika pemimpin tidak mempunyai sifat amanah, tentu yang terjadi

adalah penyalahgunaan jabatan dan wewenang untuk hal-hal yang tidak baik.

Itulah mengapa nabi Muhammad SAW juga mengingatkan agar menjaga amanah

kepemimpinan, sebab hal itu akan dipertanggungjawabkan, baik didunia maupun

diakhirat. Nabi bersabda: "setiap kalian adalah pemimpin, dan kalian akan dimintai

pertanggungjawaban atas kepemimpinannya" (HR. Bukhori) Nabi Muhammad

SAW juga bersabda: "Apabila amanah disia-siakan maka tunggulah saat

kehancuran. Waktu itu ada seorang shahabat bertanya: apa indikasi menyianyiakan

amanah itu wahai Rasulullah? Beliau menjawab: apabila suatu perkara

diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tunggulah saat

kehancurannya" (HR. Bukhori)

Oleh karenanya, kepemimpinan mestinya tidak dilihat sebagai fasilitas untuk

menguasai, tetapi dimaknai sebagai sebuah pengorbanan dan amanah yang harus

diemban dengan sebaik-baiknya. Kepemimpinan juga bukan kesewenangwenangan

untuk bertindak, tetapi kewenangan untuk melayani dan mengayomi

dan berbuat dengan seadil-adilnya. kepemimpinan adalah sebuah keteladanan

dan kepeloporan dalam bertindak. Kepemimpinan semacam ini akan muncul jika

dilandasi dengan semangat amanah, keikhlasan dan nilai-nilai keadilan.

III. b. Hukum dan Tujuan Menegakkan Kepemimpinan

Pemimpin yang ideal merupakan dambaan bagi setiap orang, sebab

pemimpin itulah yang akan membawa maju-mundurnya suatu organisasi, lembaga,

Negara dan bangsa. Oleh karenanya, pemimpin mutlak dibutuhkan demi

tercapainya kemaslahatan umat. Tidaklah mengherankan jika ada seorang

pemimpin yang kurang mampu, kurang ideal misalnya cacat mental dan fisik,

maka cenderung akan mengundang kontroversi, apakah tetap akan dipertahankan

atau di non aktifkan.

Imam Al-mawardi dalam Al-ahkam Al sulthoniyah menyinggung mengenai

hukum dan tujuan menegakkan kepemimpinan. beliau mengatakan bahwa

menegakkan kepemimpinan dalam pandangan Islam adalah sebuah keharusan

dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Lebih lanjut, beliau

mengatakan bahwa keberadaan pemimpin (imamah) sangat penting, artinya,

antara lain karena imamah mempunyai dua tujuan: pertama: Likhilafati an4

Nubuwwah fi-Harosati ad-Din, yakni sebagai pengganti misi kenabian untuk

menjaga agama. Dan kedua: Wa sissati ad-Dunnya, untuk memimpin atau

mengatur urusan dunia. Dengan kata lain bahwa tujuan suatu kepemimpinan

adalah untuk menciptakan rasa aman, keadilan, kemasylahatan, menegakkan

amar ma'ruf nahi munkar, mengayomi rakyat, mengatur dan menyelesaikan

problem-problem yang dihadapi masyarakat.

Dari sinilah para ulama' berpendapat bahwa menegakkan suatu

kepemimpinan (Imamah) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah suatu

keniscayaan (kewajiban). Sebab imamah merupakan syarat bagi terciptanya suatu

masyarakat yang adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan serta

terhindar dari kehancuran dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu,

tampilnya seorang pemimpin yang ideal yang menjadi harapan komponen

masyarakat menjadi sangat urgen.

III. c. Kriteria Pemimpin yang Ideal dalam Islam

Imam Al Mawardi dalam Al-ahkam Al sulthoniyyah-Nya memberikan

beberapa kriteria seorang pemimpin yang ideal agar tampilnya pemimpin tersebut

dapat mengantarkan suatu Negara yang adil dan sejahtera seperti yang

diharapkan.

- Seorang pemimpin harus mempunyai sifat adil ('adalah)

- Memiliki pengetahuan untuk memanage persoalan-persoalan yang ada

kaitannya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara.

- Sehat panca indranya seperti pendengaran, penglihatan dan lisannya.

Sehingga seorang pemimpin bisa secara langsung mengetahui persoalanpersoalan

secara langsung bukan dari informasi atau laporan orang lain yang

belum tentu dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

- Sehat anggota badan dari kekurangan. Sehingga memungkinkan seorang

pemimpin untuk bergerak lebih lincah dan cepat dalam menghadapi berbagai

persoalan ditengah-tengah masyarakat.

- Seorang pemimpin harus mempunyai misi dan visi yang jelas. bagaimana

memimpin dan memanage suatu Negara secara berstruktur, sehingga ada

perioritas tertentu, mana yang perlu ditangani terlebih dahulu dan mana yang

dapat ditunda sementara.

- Seorang pemimpin harus mempunyai keberanian dan kekuatan. Dalam hal ini

seorang pemimpin harus mempunyai keberanian dan kekuatan dalam

menegakkan hukum dan keadilan.

- Harus keturunan Quraisy. Namun menurut pandangan Ibnu Khaldun dalam

Muqoddimah-Nya bahwa, hadits "Al Aimmatu min Quraisyin" (HR. Ahmad dari

Anas bin Malik) tersebut dapat dipahami secara konstektual, bahwa hak

pemimpin itu bukan pada etnis Quraisy-nya, melainkan pada kemampuan dan

kewibawaannya. Pada masa Nabi Muhammad SAW orang yang memenuhi

persyaratan sebagai pemimpin dan dipatuhi oleh masyarakat adalah dari kaum

Quraisy. Oleh karena itu, apabila pada suatu saat ada orang yang bukan dari

Quraisy tapi punya kemampuan dan kewibawaan, maka ia dapat diangkat

sebagai pemimpin termasuk kepala Negara.

PERMASALAHAN

Secara historis, demokrasi muncul sebagai respon terhadap system

monarchi diktator Yunani pada abad 5 M. pada waktu demokrasi ditetapkan dalam

bentuk systemnya dimana semua rakyat (selain wanita, anak dan budak) menjadi

pembuat undang-undang. Secara umum demokrasi itu kompatibel dengan nilainilai

universal Islam. seperti persamaan, kebebasan, permusyawaratan dan

keadilan. Akan tetapi dalam dataran implementatif hal ini tidak terlepas dari

problematika. Sebagai contoh adalah ketika nilai-nilai demokrasi berseberangan

dengan hasil ijtihad para ulama'. Contoh kecil adalah kasus tentang orang yang

pindah agama dari Islam (baca: murtad). Menurut pandangan Islam berdasarkan

hadits: "Man baddala dinahu faqtuluhu" mereka disuruh taubat dahulu, jika mereka

tidak mau maka dia boleh dibunuh atau diperangi. Dalam system demokrasi hal ini

tidak boleh terjadi, sebab membunuh berarti melanggar kebebasan mereka dan

melanggar hak asasi manusia (HAM). Kemudian dalam demokrasi ada prinsip

kesamaan antara warga Negara. Namun dalam Islam ada beberapa hal yang

sangat tegas disebut dalam al-Qur'an bahwa ada perbedaan antara laki-laki dan

perempuan, misalnya tentang poligame. (QS. An-nisa' 33) tentang hukum waris

(QS. An-nisa' 11) tentang kesaksian (QS. Al-baqarah 282). Disamping itu,

demokrasi sangat menghargai toleransi dalam kehidupan sosial, termasuk dalam

ma'siat sekalipun. Seperti pacaran perzinaan. Sedangkan dalam Islam hal ini jelasjelas

dilarang dalam Al-qur'an. Demikian juga dalam Islam dibedakan antara hak

dan kewajiban kafir dzimmi dengan yang muslim. Hali ini dalam demokrasi tidak

boleh terjadi, sebab tidak lagi menjunjung nilai persamaan. Melihat adanya

problem diatas, berarti tidak semuanya demokrasi kompatibel dengan ajaran

Islam. dalam dataran prinsip, ide-ide demokrasi ada yang sesuai dan selaras

dengan Islam, namun pada tingkat implementatif sering kali nilai-nilai demokrasi

berseberangan dengan ajaran Islam dalam al-Qur'an, Assunnah dan ijtihad para

ulama'

PEMBAHASAN

Prinsip-Prinsip Kepemimpinan Islam

Sebagai agama yang sesuai dengan fitrah manusia, Islam memberikan

prinsip-prinsip dasar dan tata nilai dalam mengelola organisasi atau pemerintahan.

Al-qur'an dan As-sunnah dalam permasalahan ini telah mengisyaratkan beberapa

prinsip pokok dan tata nilai yang berkaitan dengan kepemimpinan, kehidupan

bermasyarakat, berorganisasi, bernegara (baca: berpolitik) termasuk di dalamnya

ada system pemerintahan yang nota-benenya merupakan kontrak sosial. Prinsipprinsip

atau nilai-nilai tersebut antara lain: prinsip Tauhid, As-syura

(bermusyawarah) Al-'adalah (berkeadilan) Hurriyah Ma'a Mas'uliyah (kebebasan

disertai tanggungjawab) Kepastian Hukum, Jaminan Haq al Ibad (HAM) dan lain

sebagainya.

IV. 1. Prinsip Tauhid

Prinsip tauhid merupakan salah satu prinsip dasar dalam kepemimpinan

Islam (baca: pemerintahan Islam). Sebab perbedaan akidah yang fundamental

dapat menjadi pemicu dan pemacu kekacauan suatu umat. oleh sebab itu, Islam

mengajak kearah satu kesatuan akidah diatas dasar yang dapat diterima oleh

semua lapisan masyarakat, yaitu tauhid. Dalam alqur'an sendiri dapat ditemukan

dalam surat An-nisa' 48, Ali imron 64 dan surat al Ikhlas.

IV. 2. Prinsip Musyawarah (Syuro)

usyawarah berarti mempunyai makna mengeluarkan atau mengajukan

pendapat. Dalam menetapkan keputusan yang berkaitan dengan kehidupan

berorganisasi dan bermasyarakat, paling tidak mempunyai tiga cara: 1. keputusan

yang ditetapkan oleh penguasa. 2. kepeutusan yang ditetapkan pandangan

minoritas. 3. keputusan yang ditetapkan oleh pandangan mayoritas, ini menjadi ciri

umum dari demokrasi, meski perlu diketahui bahwa "demokrasi tidak identik

dengan syuro" walaupun syuro dalam Islam membenarkan keputusan pendapat

mayoritas, hal itu tidak bersifat mutlak. Sebab keputusan pendapat mayoritas tidak

boleh menindas keputusan minoritas, melainkan tetap harus memberikan ruang

gerak bagi mereka yang minoritas. Lebih dari itu, dalam Islam suara mayoritas

tidak boleh berseberangan dengan prinsip-prinsip dasar syariat. Dalam Al-quran

ada beberapa ayat yang berbicara tentang musyawarah. Pertama: musyawarah

dalam konteks pengambilan keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan

anak-anak, seperti menyapih (berhenti menyusui) anak. Hal ini sebagaimana

terdapat pada surat al-Baqarah ayat 233. "apabila suami-istri ingin menyapih anak

mereka (sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan dan musyawarah antar mereka,

maka tidak ada dosa atas keduanya" Kedua: musyawarah dalam konteks

membicarakan persoalan-persoalan tertentu dengan anggota masyarakat,

termasuk didalamnya dalam hal berorganisasi. Hal ini sebagaimana terdapat pada

surat Ali-imron ayat 158. "bermusyawarahlah kamu (Muhammad) dengan mereka

dalam urusan tertentu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad,

bertawakkalah kepada Allah Swt. Sesungguhnya Allah Swt mencintai orang-orang

yang bertawakkal kepada-Nya". meskipun terdapat beberapa Al-qur'an dan Assunnah

yang menerangkan tentang musyawarah. Hal ini bukan berarti al-Qur'an

telah menggambarkan system pemerintahan secara tegas dan rinci, nampaknya

hal ini memang disengaja oleh Allah untuk memberikan kebebasan sekaligus

medan kreatifitas berfikir hambanya untuk berijtihad menemukan sistem

pemerintahan yang sesuai dengan kondisi sosial-kultural. Sangat mungkin ini

salah satu sikap demokratis tuhan terhadap hamba-hambanya.

IV. 3. Prinsip Keadilan (Al-'adalah)

Dalam memanage pemerintahan, keadilan menjadi suatau keniscayaan,

sebab pemerintah dibentuk antara lain agar tercipta masyarakat yang adil dan

makmur. Tidaklah berlebihan kiranya jika al- Mawardi dalam Al-ahkam Al9

sulthoniyah-Nya memasukkan syarat yang pertama seorang pemimpin negara

adalah punya sifat adil. Dalam al-Qur'an, kata al-'Adl dalam berbagai bentuknya

terulang dua puluh delapan kali. Paling tidak ada empat makna keadilan yang

dikemukakan oleh ulama. pertama: adil dalam arti sama. Artinya tidak menbedambedakan

satu sama lain. Persamaan yang dimaksud adalah persamaan hak. Ini

dilakukan dalam memutuskan hukum. Sebagaimana dalam al qur'an surat an-Nisa'

58. "apabila kamu memutuskan suatu perkara diantara manusia maka hendaklah

engkau memutuskan dengan adil". kedua: adil dalam arti seimbang. Disini keadilan

identik dengan kesesuaian. Dalam hal ini kesesuaian dan keseimbangan tidak

mengharuskan persamaan kadar yang besar dan kecilnya ditentukan oleh fungsi

yang diharapkan darinya. Ini sesuai dengan al-Qur'an dalam surat al infithar 6-7

dan al Mulk 3. ketiga: adil dalam arti perhatian terhadap hak-hak individu dan

memberikan hak-hak itu kepada pemiliknya. Keempat: keadilan yang dinisbatkan

kepada Allah Swt. Adil disini berarti memelihara kewajaran atas berlanjutnya

eksistensi. Dalam hal ini Allah memiliki hak atas semuanya yang ada sedangkan

semua yang ada, tidak memiliki sesuatau disisinya. Jadi, system pemerintahan

Islam yang ideal adalah system yang mencerminkan keadilan yang meliputi

persamaan hak didepan umum, keseimbangan (keproposionalan) dalam

memanage kekayaan alam misalnya, distribusi pembangunan, adanya balancing

power antara pihak pemerintah dengan rakyatnya.

IV. 4. Prinsip Kebebasan (al-Hurriyah)

Kebebasan dalam pandangan al-Qur'an sangat dijunjung tinggi termasuk

dalam menentukan pilihan agama sekaligus. Namun demikian, kebebasan yang

dituntut oleh Islam adalah kebebasan yang bertanggungjawab. Kebebasan disini

juga kebebasan yang dibatasi oleh kebebasan orang lain. Dalam konteks

kehidupan politik, setiap individu dan bangsa mempunyai hak yang tak terpisahkan

dari kebebasan dalam segala bentuk fisik, budaya, ekonomi dan politik serta

berjuang dengan segala cara asal konstitusional untuk melawan atas semua

bentuk pelanggaran.

KESIMPULAN

Syari'at Islam diperuntukkan bagi kemaslahatan hidup di dunia dan di

akhirat. Dan cakupan syari'at Islam meliputi wilayah agama dan negara. syari'at

Islam berlaku umum untuk seluruh umat manusia dan bersifat abadi sampai hari

kiamat. Hukum-hukumnya saling menguatkan dan mengukuhkan satu sama lain,

baik dalam bidang akidah, ibadah, etika maupun mu'amalah, demi mewujudkan

puncak keridlaan Allah Swt, ketenangan hidup, keimanan, kebahagian,

kenyamanan dan keteraturan hidup bahkan memberikan kebahagian dunia secara

keseluruhan. Semua itu dilakukan melalui kesadaran hati nurani, rasa tanggung

jawab atas kewajiban, perasaan selalu dipantau oleh Allah Swt dalam seluruh sisi

kehidupan, baik ketika sendirian maupun di hadapan orang lain, serta dengan

memuliakan hak-hak orang lain. Lebih lanjut lagi, Syari'at Islam merupakan satusatunya

syariat yang sesuai dengan perkembangan zaman, cocok untuk segala

generasi, dan selaras dengan realitas kehidupan. Dalam prinsip-prinsip syariat

Islam, terdapat kekuatan paripurna yang akan selalu membantu kita dalam

menetapkan hukum yang selalu hidup, tumbuh, dan berkembang bagi kehidupan

manusia dengan beragam latar-belakang budayanya. Syariat Islam yang dinamis

sungguh menjamin rasa keadilan, ketenangan, dan kehidupan yang mulia dan

bersih. Mampu membawa izzul Islam wal muslimin dalam bingkai Negara kesatuan

republik Indonesia yang Baldatun Thoyibatun Wa Robbun Ghofur.

PENUTUP

Pemerintah Negara Indonesia dibentuk untuk melindungi segenap bangsa

Indonesia, seluruh tumpah darah Indonesia, untuk memajukan kesejahteraan

umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social.

Namun kenyataanya, kekuatan kapitalisme global dengan bebas mengeruk

kekayaan alam Indonesia, membiarkan rakyatnya termiskinkan, sehingga jurang

antara kaya dan miskin makin menjulang. Dan mayoritas rakyatnya tetap dalam

penderitaan. dengan merasakan penderitaan rakyat, menyimak peringatan Allah

Swt, merenungkan sinyalemen Rasulullah SAW, dan menyaksikan musibah yang

silih berganti, maka tidak ada pilihan lagi selain menjadikan tuntunan Allah Swt

yang maha kuasa (baca: Syari'at Allah) sebagai pedoman dalam mengelola

bangsa dan Negara kesatuan republik Indonesia, dan satu-satunya solusi terhadap

masalah bangsa.

Indonesia yang mayoritas penduduknya umat Islam selalu mendambakan

tampilnya kepemimpinan Islam didalam setiap level kehidupan bermasyarakat dan

bernegara, yang diharapkan mampu untuk memperjuangkan kepentingan umat

Islam dan menjalankan system pemerintahan berdasarkan syari'at Islam secara

kaffah, bukan dengan system demokrasi yang identik dengan kekufuran. Juga

untuk menjaga kemurnian ajaran ahlussunnah wal jama'ah versi wali-songo

sekaligus untuk mengamandemen undang-undang yang bertentangan dengan

syari'at Islam, diganti dengan undang-undang yang sesuai dengan syari'at Islam

yang berpihak dengan kepentingan umat Islam, sehingga tidak ada lagi aset-aset

Negara yang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing seperti blok Cepu,

Freeport, dan lain-lain. Untuk mewujudkan cita-cita luhur itu, diperlukan kesatuan

visi antara umat Islam dan dukungan dari orang-orang yang punya kapabilitas

ketokohan Islam, pondok pesantren, lembaga-lembaga dan organisasi Islam serta

membangun poros Islam yang melibatkan semua partai yang berbasis dan

berazaskan Islam.

TIPS Membangun Kepemimpinan

1. membangun kekuatan pribadi

2. membangun keahlian hidup dalam berkelompok

3. membangun keahlian dalam memimpin kelompok

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management