Tank's Atas Kunjungan sahabat,,,

Minggu, 18 Desember 2011

PERANAN MOTIVASI

BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang Masalah
Ada pergeseran besar terjadi saat ini tentang perpustakaan. Bila sebelumnya perpustakaan identik dengan dunia pendidikan, saat ini kesadaran masyarakat terhadap keberadaan perpustakaan mulai tumbuh. Sayangnya, berdirinya perpustakaan lebih banyak karena faktor idealisme dan keinginan para pendirinya semata. Bukan karena adanya kebutuhan dan dorongan dari masyarakat. Hal ini terbukti dengan minimnya kepedulian dan kunjungan masyarakat ke perpustakaan.
Rasa cinta terhadap perpustakaan akan tumbuh, manakala masyarakat membutuhkan keberadaannya. Karena berhubungan dengan sikap, oleh karenanya upaya untuk membuat masyarakat cinta perpustakaan tidak bisa dilakukan hanya dengan membangun perpustakaan sebanyak-banyaknya. Jika masyarakat tidak membutuhkan, seberapa banyak pun perpustakaan didirikan, tetap saja akan sepi pengunjung.
Perpustakaan adalah refleksi dari tumbuhnya budaya baca. Sebagai contoh kasus, di Kabupaten majene, misalnya, terdapat lebih dari seratus ribu pekerja. Beberapa kelompok organisasi peduli pekerja, mencoba menerbitkan media komunitas (bulletin/majalah tentang ketenagakerjaan) yang dibagikan secara gratis kepada mereka. Apa yang terjadi? Bukannya dibaca dan disimpan dengan baik, bahkan banyak dari bulletin tersebut yang justru dibuang, menjadi alas tempat duduk hingga menjadi bungkus di warung kelontongan.
Bila majalah dan buletin yang dibagikan secara gratis pun tidak dibaca, bagaimana mereka akan secara sukarela datang ke perpustakaan untuk memenuhi hasrat keingintahuannya?
Diluar itu semua, keberadaan perpustakaan hingga saat ini masih dianggap esklusive. Hanya untuk dunia pendidikan, para akademisi, dan mereka yang aktivitasnya dekat ilmu pengetahuan. Anggapan inilah yang membuat masyarakat semakin terjauhkan dari perpustakaan. Yang membuat seorang karyawan tidak datang ke perpustakaan. Yang membuat seorang pedagang malu meminjam buku di perpustakaan.
Mengapa masyarakat tidak cinta Perpustakaan? Jawabannya bisa dilihat dari tabel di bawah ini:
Faktor
Gambaran Detail
Internal / Diri Sendiri
- Tidak suka membaca
- Budaya baca tergantikan dengan televisi (visual)
- Sibuk dengan pekerjaan
- Datang ke perpustakaan dan atau membeli buku hanya menghambur-hamburkan uang
- Malu atau minder data ke perpustakaan
Eksternal / Lingkungan
- Tidak ada panutan / yang memberi contoh
- Pengelola perpustakaan lebih banyak pasif
- Kampanye masyarakat cinta perpustakaan kurang optimal
B.     Tujuan Masalah
Itulah sebabnya, tulisan ini bertujuan untuk: (a) Mengetahui apa saja yang menjadikan hambatan masyarakat untuk mencintai perpustakaan; (b) Mengetahui motivasi apa yang diperlukan seseorang untuk mencintai perpustakaan; dan (c) Menyusun rekomendasi sebagai upaya untuk membangun masyarakat cinta perpustakaan.


BAB II
PEMBAHASAN
A.       Defenesi motivasi
Motivasi adalah bahan bakar yang dapat menggerakkan mesin kehidupan kita. Seluruh potensi yang ada pada manusia dapat mencapai kemampuan yang maksimal, bila kita mempunyai motivasi yang cukup untuk melakukannya. Sebab, kemampuan tubuh terbatas, tetapi kekuatan motivasi tak terbatas.
Upaya untuk membangun masyarakat cinta perpustakaan, juga tidak luput dari pentingnya motivasi. Dan diantara sekian banyak motivasi, yang paling utama dan mampu menggerakkan adalah motivasi spiritual (al-quwwah ar-ruhiyah). Sebuah motivasi, dimana membaca dan menuntut ilmu merupakan perintah Tuhan. Perpustakaan, menjadi bagian penting untuk mewujudkan hal itu.
Jelas sekali, kita tidak bisa berharap banyak bila menerapkan motivasi fisik-material (al-Quwwah al-madiyah) untuk mendorong masyarakat cinta perpustakaan. Bukankah dengan datang ke perpustakaan tidak akan membuat orang menjadi kenyang? Kalaupun kita menyediakan door prize dan bermacam hadiah, maka sifatnya hanya sementara. Kehadiran mereka bukan dilandasi rasa cinta, sehingga tidak akan bertahan lama. Apalagi dalam kondisi masyarakat yang secara ekonomi masih tergolong sulitl.
Bila kita mati, seketika amal kita akan terputus, kecuali – menurut Nabi – tiga hal yang diantaranya ilmu yang bermanfaat. Dan berbicara tentang ilmu, perpustakaan adalah gudangnya. Itulah sebabnya, dengan optimis kita akan mengatakan bahwa cinta perpustakaan adalah bagian dari ibadah. Apalagi kalau di perpustakaan dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang menunjang itu semua.
Motivasi tidak muncul dengan sendirinya. Itulah sebabnya, dibutuhkan satu organ kelembagaan (kader sebagai gugus tugas) untuk membentuk jaringan di setiap komunitas. Para kader di semua jaringan inilah yang akan mensosialisasikan gerakan cinta perpustakaan hingga ke tingkat komunitas terkecil. Di perusahaan tempat mereka bekerja, dan di keluarga atau lingkungan tempat mereka tinggal.
Di perusahaan, bisa dimaknai dengan mendirikan sebuah perpustakaan secara gotong royong dan terbuka. Melibatkan komunitas yang lebih luas. Sementara di tingkatan keluarga, bisa dilakukan dengan mengkampanyekan gerakan perpustakaan keluarga.
Terdengar berlebihan? Sebenarnya tidak. Bukankah di setiap keluarga memiliki anggota keluarga (anak-anak) yang bersekolah? Kita tinggal mengubah koleksi buku pelajaran mereka menjadi sebuah permukaan mini. Tidak selalu membutuhkan biaya besar, apabila kesadaran sudah tumbuh di setiap keluarga.
Pada akhirnya, daripada berharap banyak tumbuhnya kesadaran masyarakat cinta perpustakaan, lebih baik kita segera melakukan langkah konkret untuk mewujudkan harapan itu. Langkah ini bisa dilakukan dengan membentuk jaringan kader cinta perpustakaan, sebagai gugus tugas, untuk mengkampanyekan masyarakat cinta perpustakaan. Hal ini akan efekktif, bila kampanye dilakukan dengan pendekatan motivasi spiritual.
Pandangan umum tentang seorang pustakawan yakni sebagai manusia aneh dengan kacamata minus tanpa keramahtamahan. Hal ini dikarenakan asumsi yang beranggapan bahwa seorang pustakawan berkutat dengan kumpulan buku-buku usang dengan ruangan remang-remang gelap dan tidak sedap dipandang. Akan tetapi, ada juga yang berpendapat sebaliknya, bahwa pustakawan laksana kamus berjalan yaitu tempat bertanya segala informasi. Sebagaimana pendapat yang mengatakan bahwa perpustakaan yang merupakan tempat kegiatan seorang pustakawan disebut sebagai gudang ilmu, pusat informasi dunia, atau sarana kita mencari informasi sebagai jendela dunia.
Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, maka peran pustakawan pada sebuah perpustakaan sebagai media penyampai informasi dapat dengan menggunakan berbagai program kemasan informasi dengan aneka penyajian. Dalam dunia belajar mengajar atau pendidikan dan pengajaran, peran perpustakaan masih menjadi kebutuhan pokok bagi para pendidik dan peneliti. Hal ini dikarenakan tidak semua informasi yang dibutuhkan dapat diperoleh dengan mudah. Berkaitan dengan sarana pembelajaran sebagai mitra dalam memperoleh informasi dari berbagai bidang ilmu pengetahuan, maka pustakawan sebagai mediator informasi sangat berperan. Oleh karena itu, kalangan pendidik atau siapapun yang ingin berperan sebagai penyampai ilmu pengetahuan (informasi) wajib mengetahui peran seorang pustakawan.
Perpustakaan sebaiknya dikelola sesuai tujuan penyelenggaraan sebuah pusat informasi. Komunikasi informasi kepada pemakai saat ini melalui aneka media yang ada. Pada peran inilah (media informasi) pustakawan dibutuhkan agar informasi sampai kepada pemakai. Aneka kemasan informasi diolah oleh pustakawan sehingga siap untuk dimanfaatkan. Tidak dapat dipungkiri sehingga peran seorang pustakawan menjadi tolok ukur apakah informasi yang disampaikan bermanfaat atau tidak, sesuaikah dengan kebutuhan para pengguna atau pengunjung perpustakaan. Perpustakaan tanpa adanya pengguna, hanya menjadi gudang koleksi yang akhirnya menjadi sarang debu, seperti rumah tak bertuan. Karenanya, penting kiranya mengenal peran seorang pustakawan dalam mengelola sebuah perpustakaan, apa yang harus dilakukan terhadap koleksi perpustakaan agar informasi yang terdapat dalam sebuah koleksi bermanfaat bagi pengguna/pengunjung perpustakaan..
Pustakawan yang bagaimana yang diharapkan oleh pemakai perpustakaan, sehingga pemakai perpustakaan mendapat informasi yang berguna sesuai yang diinginkan. Beberapa ketrampilan yang harus dimiliki seseorang yang berprofesi sebagai pustakawan sebagai berikut :
  1. Pustakawan hendaknya cepat berubah menyesuaikan keadaan yang menantang.
  2. Pustakawan adalah mitra intelektual yang memberikan jasanya kepada pemakai. Jadi seorang pustakawan harus ahli dalam berkomunikasi baik lisan maupun tulisan dengan pemakai.
  3. Seorang pustakawan harus selalu berpikir positif.
  4. Pustakawan tidak hanya ahli dalam mengkatalog, mengindeks, mengklasifikasi koleksi, akan tetapi harus mempunyai nilai tambah, karena informasi terus berkembang.
  5. Pustakawan sudah waktunya untuk berpikir kewirausahaan. Bagaimana mengemas informasi agar laku dijual tapi layak pakai.
  6. Ledakan informasi yang pesat membuat pustakawan tidak lagi bekerja hanya antar sesama pustakawan, akan tetapi dituntut untuk bekrjasama dengan bidang profesi lain dengan tim kerja yang solid dalam mengelola informasi (Profesionalisme Pustakawan di Era Global, 2001).
Sementara itu, yang dimaksudkan dengan pengelolaan perpustakaan adalah kegiatan mengurus sesuatu, dapat diartikan sebagai mengurus atau menyelenggarakan perpustakaan (Kamus Besar Bahasa Indonesiai, 1976:469). Dengan demikian peran pustakawan tidaklah ringan seperti pendapat pada umumnya yang mengatakan bahwa seorang pustakawan merupakan pegawai tak bermutu yang kerjanya menunggui tumpukan buku-buku. Pustakawan sudah saatnya mengekspresikan diri sebagai media informasi yang berkualitas. Pustakawan harus mampu membuang stempel kutu buku yang sudah melekat begitu lama. Bukan hal yang mudah mengembalikan peran pustakawan sebagaimana mestinya sebagai media informasi (penyelenggara komunikasi informasi). Sehubungan dengan hal tersebut, maka pustakawan dituntut untuk memberikan pelayanan yang memuaskan pemakai. Bagaimana kualitas pelayanan yang dapat memuaskan pemakai informasi? Salah satunya adalah peran aktif pustakawan yang kreatif dalam mengelola informasi. Pustakawan dituntut untuk aktif dan giat bekerja dalam menyampaikan informasi dalam aneka produk kemasan-kemasan yang menarik dan sampai kepada pemakai.
Berdasarkan uraian jenis pelayanan pemakai yang diberikan suatu perpustakaan, maka kualitas pelayanan menjadi ukuran manfaat tidaknya suatu perpustakaan bagi pemakainya. Definisi mengenai kualitas suatu pelayanan memang tidak dapat diterima secara universal. Menurut Kotler dalam Tjiptono (2001:6), pelayanan (jasa) didefinisikan sebagai setiap tindakan atau perbuatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak lain yang pada dasarnya bersifat intangible (tidak berwujud fisik) dan tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, layanan perpustakaan tidak berorientasi kepada hasil fisik, meskipun demikian pustakawan tetap diminta untuk kreatif dalam menyajikan kemasan informasi yang diberikan kepada pemakai.
Pengertian pelayanan yang dimaksud adalah pelayanan kepada masyarakat umum atau pelayanan pemakai perpustakaan. Pelayanan mempunyai sifat universal, artinya berlaku terhadap siapa saja yang menginginkannya. Oleh karenanya, pelayanan yang memuaskan pemakai memegang peranan penting agar perpustakaan dapat eksis.

Lebih lanjut Moenir (1995:410) mengungkapkan perwujudan pelayanan yang didambakan adalah :
  1. Adanya kemudahan dalam pengurusan kepentingan dengan pelayanan yang cepat dalam arti tanpa hambatan yang kadang dibuat-buat
  2. Memperoleh pelayanan secara wajar tanpa gerutu atau sindiran yang mengarah kepada permintaan sesuatu, baik dengan alasan untuk dinas maupun kesejahteraan.
  3. Mendapatkan perlakuan yang sama dalam pelayanan terhadap kepentingan yang sama, tertib dan tidak pandang bulu.
  4. Pelayanan yang jujur dan terus terang.
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa mendengarkan “suara pelanggan” merupakan suatu hal yang perlu dilakukan perpustakaan, baik perpustakaan besar maupun kecil. Jadi meningkatkan kualitas layanan suatu perpustakaan harus dimulai dari diri sendiri sebagai pelayan/penyampai informasi terlebih dahulu; yaitu meningkatakan ketrampilan dan kualitas pribadi sebagai pelayan yang dapat memberikan kepuasan pemakai. Kewajiban pustakawan terhadap diri sendiri sebagaimana tercantum dalam kode etik pustakawan. Diantaranya, setiap pustakawan dituntut untuk selalu mengikuti perkembangan ilmu, memelihara akhlak dan kesehatan untuk dapat hidup dengan tenteram, dan bekerja dengan baik; serta selalu meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam pergaulan dan bermasyarakat (Kode Etik Pustakawan, 1998:3).
BAB III
PENUTUP

A.     KESIMPULAN

Profesi sebagai seorang pustakawan harus aktif kreatif melakukan pengembangan diri dalam rangka penyelenggaraan perpustakaan yang berorientasi pada kepuasan pemakai informasi. Peran dan tanggungjawab seorang pustakawan menjadi tolok ukur kepuasan pemakai. Peran pustakawan dituntut untuk mendengarkan dan menerima ‘suara-suara’ pelanggan dengan lapang dada demi kemajuan dan peningkatan pelayanan. Pesatnya peredaran informasi membuat profesi pustakawan harus mau bekerjasama dalam tim kerja dengan profesi bidang lain.

Daftar Pustaka
Widjajakusuma, M. Karebet. 2007. Be The Best Not ”be asa”. Jakarta. Prestasi
al-`Utsmaimin, Syaikh Muhammad bin Shalih. 2005. Syarah Adab & Manfaat Menuntut Ilmu (terjemahan). Jakarta. Pustaka Asy-Syafi`i.
Smart, JK. 2005. Real Coaching and Feedback (terjemahan). Jakarta. PT. Bhuana Ilmu Populer.
Hasan, Maimunah. 2009. PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Jogjakarta. DIVA Press
Kahar Setyo Cahyono

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management